Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Hantu Anak Kecil

| No comment
Tentang menunggu dan (mungkin) masa lalu.

Jogja. Ibumu tak juga pulang. Kamu sendirian di teras. Malam sudah mendingin, dan hujan datang bersamaan dengan suara penjual sate yang masih berkeliling selarut dan sehujan ini. Penjual sate itu pasti sedang melintas jauh di sana, gerobaknya serupa perahu cadik. Kelintingannya akan berbunyi seperti kerincing penari remo, atau seperti kuda yang menarik dokar kencana. Nyi Roro Kidul lewat.

Dan kamu menjadi semakin lelah dan mengantuk. Kamu  mulai lupa wajah ibumu, tapi kamu ingat bahwa dia hangat, seperti susunya yang kamu sesap dulu. Ibu adalah cinta. Ibu adalah nyaman. Ibu adalah harapan akan cinta yang tak berbatas, seperti Tuhan. Dan ketika yang satu itu tak pasti akan datang. Ada sebagian besar yang hilang, dan sebagian besar itu kamu namai semangat hidup. Api yang berkobar mengecil dan hampir mati.

Tiba-tiba saja di pojokan, sesosok anak kecil berjalan ngesot. Lempoh. Tangannya  menggaruk-garuk lantai ubin seperti cakar ayam. Dia menempel di kakimu dan kamu hanya diam. Wajah kecil itu meringis kepadamu, "Kakak! Main yuk!" Entah harus bagaimana, apakah bergidik atau senang. Tapi kamu memperhatikan wajah anak itu. Matanya persis seperti matamu, senyumnya yang keropos adalah senyummu. Anak yang manis. Dan kamu mengenal wajah anak itu, kamu ingat kamu melihatnya di album foto kanak-kanakmu. Anak yang dituntun ibunya. Anak kecil itu dirimu. 

Menunggu adalah sebuah peristiwa tanpa kepastian. Seindah apapun taman-taman di Alengka, Sinta tak pernah menganggap itu rumahnya. Selalu ada ancaman bahwa Rahwana akan datang dan memperkosa. Sebuah shelter bus trans dirancang dengan istimewa, ketika kamu pertama kali naik bus trans, kamu akan takut salah arah, atau malah ketinggalan busnya. Maka demikianlah, menunggu tidak pernah menjadi pengalaman kedua, menunggu selalu pengalaman pertama yang baru, berapa kali pun kamu menunggu. 

Seorang anak yang terbiasa rangking 1 akan ketakutan menunggu orangtuanya yang sedang diwejang di dalam oleh sang guru sambil menunjukkan rapotnya. Dia butuh kepastian, sayangnya di papan tulis tak pernah ditulis peringkat 10 besarnya lagi. Dia berharap orangtuanya tidak marah. Dia kesal melihat teman-teman bodohnya yang biasanya cuma plonga-plongo di kelas malah bisa bermain petak umpet atau gobak sodor. Hatinya berada di tempat yang lain, di ruang kelas itu bersama ibunya. Dan dia tersiksa ketika tubuhnya berpisah dengan hatinya. Bagaimana jika dia tidak lagi juara 1. Anak ini mulai menyiksa dirinya. Dia membatin mengapa kemarin tidak belajar sampai subuh. Mengapa kemarin tidak mencontek saja seperti teman-temannya. Mengapa dia begitu bodoh. 

Hantu anak kecil itu meraih kakimu. Dan dia membisikkan di telingamu, "Kak, di tempatku ada ibumu yang dulu, yang susunya masih hangat untuk kamu sesap-sesap." Dan kamu mulai mengatakan bodoh sekali aku menunggu. Di sana ada ibu lain, walaupun dia hantu, tapi dia juga pasti berwujud ibumu.

Orang sering gampang saja mengatakan bahwa dunia ini serba tidak pasti. Tapi ketika ketidakpastian itu ternyata datang, orang tetap saja gelisah. Tiba-tiba kamu berpikir, mengapa dia tidak sms, mengapa telponnya pagi tadi kok sengak. Jangan-jangan dia memilih yang lain itu. Bukankah dia memang suka dengan yang indah-indah. Dan kamu membangun sebuah istana. Di istana itu kamu yang paling indah. Di istana itu kamu yang  paling luar biasa. Dan yang sedang kamu tunggu itu tak ada apa-apanya. Dia hanya sampah, nasi basi yang dibuang di peceren. Semut dan lalat mengerubunginya. Dia mati saja.

Dia sampah, tapi mengapa sampah saja tidak memilihku. Aku apa sih? Aku ya hanya begini saja. Ketika hantu anak kecil itu duduk di pangkuanmu dan mulai menarik-narik rambutmu, kamu akan berpikir bahwa kamu memang tidak indah. Rambutmu tidak lebat seperti kakakmu. Gigimu tidak rata seperti adikmu. Kamu mulai membenci ibu, kakak, dan adikmu. Tapi itu masih belum memuaskan. Maka kamu menemukan dirimu yang menyalahkan diri seperti si rangking 1 tadi. Dan rambut yang tiadk lebat, gigi yang tidak rata membuatmu berkata, "Aku memang tidak berharga." Dan kamu berhenti menunggu, kamu bermain bersama anak kecil itu, yang menarikmu masuk ke kuburmu. Orang-orang menyekarmu dan mereka akan berkata "Dia dibawa wewe gombel!"

Bukan! Anak kecil itu bukan wewe gombel. Anak kecil itu adalah masa lalumu. Ketika masa kini menjadi tidak pasti, kamu mulai  menyamankah dirimu. Kamu mulai mencari gambaran masa lalumu ketika semuanya baik-baik saja. Dan ketika sekarang semua serba tidak baik-baik saja, kamu mencari kambing hitam: setan, Tuhan, kekasihmu yang tidak mengsms, ibumu yang tak kunjung pulang, lamaran pekerjaan yang tak juga mendapat jawaban. Kamu tidak seberharga yang kamu kira, kamu tidak istimewa, buktinya saja yang gampang saja dinikmati orang lain tidak juga kamu dapatkan. Taman Alengka menjelma Hades dengan Phobos dan Demosnya. Shelter bus trans menjelma penjara dengan ruji-rujinya yang berduri tajam. 

Kalau kamu tak berdamai dengan anak kecil itu dan mengatakan, "Cukup! Aku sedang menunggu!" Maka hujan masih akan terus bergemiricik dan suara kerincing gerobak sate akan semakin menggema bertalu-talu. Cukupkahlah memuja masa lalu. Kamu hidup hari ini bahkan tanpa kepastian. Kamu masih memiliki lampu templok yang menyala sekalipun neonnya sudah mati sejak pemadaman sore tadi. Katakan saja kepada hantu anak kecil itu, hantu dari masa lalumu itu, "Bermain saja sendiri!"

Menunggu memang melelahkan. Tapi menunggu membuatmu sadar bahwa kamu masih punya harapan. Harapan kedatangan dan keberhasilan seimbang dengan ketakutanmu pada kegagalan. Seimbang adalah batas yang paling tenang. Pendulum akan berhenti di tengah, tidak ke kiri dan ke kanan. Sebuah reaksi kimia akan berhenti dan membentuk zat-zat baru, walaupun mungkin juga menghasilkan residu. Tapi semua yang di depan memang tidak ada yang tahu. Tak perlu meminta senter ajaib milik Doraemon untuk melihat ada apa di depan sana. Karena lampu templok saja cukup untuk membantumu membaca, atau setidaknya menggambar coretan-coretan. Aau kamu bisa mengambil biolamu dan mulai memainkan Oh Happy Day dari Sister Act, memainkan Moonlight Sonata terus akan membawa kabut kematian yang semakin pekat. Kamu bisa bermain dengan teman-temanmu. Kamu tidak suka gobak sodor atau petak umpet? Kamu bisa bermain lompat tali. Tidak usah malu. Atau kamu akan menonton saja sambil bertepuk tangan. Itu juga boleh, daripada kamu beringsut saja di bawah pohon kelengkeng.

Memang kenapa kalau tidak rangking 1? Kamu tidak akan dibelikan baju baru? Nanti juga ketika kamu sudah SMA baju itu sudah tidak akan muat lagi. Kamu tidak akan dibelikan sepeda? Halah sepeda begitu saja nanti bisa kamu beli kalau kamu sudah bekerja. Mengapa harus kuatir ibumu tidak datang? Ibumu juga punya urusan sendiri. Mungkin dia ketemu teman lamanya dan berbincang lama di jalan. Dan kamu tahu kan bagaimana ibu-ibu kalau sudah arisan?

Kalau kamu masih menurut pada hantu masa lalumu, kamu tidak akan pernah hidup di hari ini. Karena kamu pun akan menjelma hantu sepertinya. Silakan saja kalau mau! Hidup hari ini sekalipun tidak pasti lebih menarik daripada apa yang sudah selesai dan beres dulu. Sudah beres kok mau diapakan lagi? Jangan percaya pada bisikan hantu anak kecil yang mengatakan kamu tidak berharga. Lihat teman-temanmu mengajakmu bermain sepak bola atau bekel. 

Ada yang tidak beres dengan masa lalumu? Ingat masa lalu sudah kamu selotip. Kamu bisa membuka selotipnya, tapi buat apa? Untuk menyiksa dirimu. Jangan gila dong! Berdamailah dengan itu. Terima bahwa itu sudah selesai dan tuntas. Gampang? Jelas tidak? Tapi ingat tidak gampang itu sama sekali berbeda dengan tidak mungkin. Tidak gampang itu hanya sulit, dan sulit itu berarti mungkin. Dan ingat itu ini hanya shenter bukan penjara berduri, ini hanya taman bukan kuburan.

Lalu  bagaimana dengan ibumu? Halah kok masih bingung dengan itu. Wong jawabannya saja sudah jelas tertulis di kertas yang ditinggalkannya tadi, "Ibu belum pasti datang" jadi mengapa kamu menghabiskan waktu untuk sekadar menunggu. Untuk apa meletakkan diri terlalu berat pada sesuatu yang belum pasti. Ingat ini hanya belum pasti, bukan tidak pasti!

Dunia ini penuh tawa. Tertawa saja. Dan tanpa kamu sadari kamu tidak akan merasa lelah lagi menunggu. Lihatlah ke dalam rumah, ada bapakmu dengan cangkir kopinya, adik dan kakakmu sedang bermain domino. Ah kamu gak sejelek itu, mereka tidak memiliki betis sekekar kamu, mereka tidak akan sekuat kamu berjalan, walau rambut dan gigi mereka lebih bagus. Kamu mau naik gunung dengan gigi? Dengan rambut? Bermainlah domino bersama mereka, atau ngopi bersama bapakmu. Dan kamu tidak akan merasa lagi lelah menunggu. Karena cinta tak hanya yang satu itu. Cinta ada di mana-mana. Dan kamu berhak dicintai, kamu berhak diterima, kamu berhak bahagia. Percaya deh! Mau bukti? Buktinya aku nulis note ini buat kamu!
Tags :

No comments:

Post a Comment