Pada suatu pagi yang lain, aku akan membuka lelapku persis di sebelahmu. Semalaman kita habis-habisan bertarung perihal anak-anak yang tak habis-habis. Menjelang pagi, pertengkaran pun usai dan mengusang terperi, Sepasang roti panggang bersalut selai coklat itu memaklumkan aromanya. Kedua bilahnya bertangkupan seperti kekasih yang saling menelungkup. Malu-malu berpelukan tapi pasrah juga akhirnya. Persis di sebelahnya kopi. Cangkir kita bersebelahan, seperti dudukmu dan berbaringku. Aku berselimut dan kau ribut membalik-balik koran baru atau majalah lama. Lalu kau akan menyalakan musik lembut dengan remote hitam di sebelah remote AC, tanda bahwa pagi belum terlalu benderang. Lalu kau akan meletakkan remote itu persis di tempatnya semula. Remote DVD berwarna hitam oval di kiri, dan remote AC putih terang persegi panjang di kanan.
Aku akan terbiasa bangun dengan wajah kusut, tapi kau masih juga tersenyum setelah sekian tahun kita bersama-sama mengisut. Rambutmu mulai kelabu, putih beradu hitam di beberapa bilangan. Putihku lebih banyak lagi. Dan kita tak akan repot-repot mencabuti, biar saja gambaran bijaksana itu membayang sedemikian rupa. Mungkin juga kita tidak sebijaksana itu, masih saja sama dengan kita yang berjumpa empat puluh dua tahun yang lalu. KIta tidak menyemir, "Biar dengan sendirinya khamir!" ujarmu seolah mengadon rotimu, Dan aku akan menjawabnya dengan sebuah mantra yang sudah bersama kita hapal, "Mama tidak berubah!" Seolah tadi malam tak terjadi apa-apa.
Mungkin kita memang tahu bahwa pertengkaran itu sebenarnya bukan apa-apa. Selain kita yang mencoba mereka-reka jalinan cerita saja. Agar masa-masa yang sedianya melelahkan dan membosankan ini tak berlalu saja. Baiklah kita akan memulai sebuah perdebatan baru lagi. Aku akan berbicara tentang masalah politik negeri ini, mungkin tentang masalah ekonomi, atau yang lebih pelik, tentang diri dan identitas, atau jangan terlalu berat, kita beradu rumah makan mana yang menyajikan saus paling nikmat. Dan kau akan mengatakan aku selalu mendelik ketika menyusun narasiku, delikan terlebar adalah pada tanggal 9 Mei tahun lalu. Saat itu kau membalas memelotot. Dan aku tidak suka dipelototi oleh perempuan, aku tetap laki-laki terbitan masyarakat tradisi. Aku konvensional, aku lebih suka menggunakan kata itu, karena ada gotong royong di dalamnya, ada rapat yang bersahaja di dalam konvensi. Tapi toh perdebatan baru itu tak juga bertarung lama. Kita akhirnya akan tetap meneguk kopi itu bersama-sama, merasakan pahit dan manis yang menyerbu bersama-sama dalam aroma harum yang mengental.
Ini ritual kita selanjutnya, kau akan memakan ujung roti itu dan mengatakan dengan kalimat yang tak jauh-jauh dari biasanya, "Enak, kamu habiskan!" Entah itu roti, atau sup jagung, kau selalu menawariku setelah kau mencobanya. Kalau enak, kau akan memaksaku menghabiskan. Kalau tidak, aku juga yang akan kau paksa menghabiskan. Tapi mana mungkin aku menolak. Aku selalu tak pintar menjadi duta penolakan, apalagi darimu. Sejak dulu, pertama kali, ketika kau dengan acuh memaksakan sebuah surat menyelusup di balik tas pinggangku. Kau bual-bualkan kata sayang, tapi aku terbual juga. Aku ganti menjemukimu dengan deraian cinta yang tak henti, kau acuh, tapi mabuk juga. Aku pun dengan sukacita menerima kedua buah hati kita. Keduanya perempuan tangguh. Jelas kau mendidik mereka untuk bercangkang dan berkaki delapan, agar mereka tak lari melihat laba-laba. Mereka akan mendekati dan justru mendekap dengan utuh, seolah bagian tubuh mereka sendiri. Orang lain pasti akan memilih membuang mereka yang sudah terjatuh dan dihina-dinakan, tapi kau mengajari mereka mendekap daripada menyekap.
Dulu ketika cinta kita masih biru, semua terbakar dalam panas yang tak terkira. Entah dari gereja atau dari terminal, kau akan mendekapku sesampai rumah. Aku masih merasakan kali-kali bibirmu di bibirku. Lalu kita satu. Setelah tahun-tahun paruhan pertama usia kita, semuanya tak lagi membakar, tapi masih membara. Walaupun kadang tak lagi panas, tapi aku masih merasakan hangatnya. Aku hidup karena baramu. Aku tidak menampik itu. Hari-hari mungkin layu, tapi kau adalah penabur bunga yang mencangkok setiap ruas yang sekarat, kerat-demi kerat, agar kembali tumbuh tunas semangat. Dan aku mulai percaya. Lalu kau menaruh asa. Kau ingat ketika aku di-PHK, dan harus menanggung tumpukan dunia. Kau tidak membiarkanku menjadi Atlas yang menopang semuanya, tapi bungkus-demi bungkus roti yang hangat dan muda itu keluar terus menerus dari ovenmu, menghidupi kita berdua, dan kedua gadis muda kita. Ketika aku mulai jumawa, kau menarikku kembali menyelam ke dasar laut. Mempertemukanku dengan Dewaruci. Lalu semuanya kembali biasa. Entahlah, seharusnya kau bertemu orang yang lebih istimewa, dan memilihnya. Aku jelas tidak rela, tapi kau layak. Tapi sejak surat pertama di tas pinggang itu, kau tidak berubah. "Aku adalah kamu." Aku bahkan tak perlu mengingat kalimat terakhir surat itu, karena aku sudah menenunnya di hatiku. Merajahnya dengan merah, dan mengalir bersama darah ke seluruh pori dan sudut, dari siku hingga siku yang lain.
Aku berdiri di sini. Aku gamang sekarang. Ini bukan pagi yang lain itu, ini adalah pagi ini. Ketika aku menatap mereka menutup wajahmu dengan selembar kain tipis berajut salib. Setelah sepuluh tahun bertarung dengan kanker yang menggerogoti dadamu, kau tidak hanya harus melepas keduanya, tapi segalanya. AKu menangis, demikian juga kedua gadis kita. Tapi kami tak ingin menangis terlalu keras, karena aku tahu kau tidak akan menghendakinya demikian. Aku hanya akan menunduk dan melepaskanmu, tapi bukan kenangan tentang kita. Ketika mereka membawamu pergi dan memikulmu, aku tahu kau sedang tersenyum bersama Bapa, atau Ibu. Sampaikanlah salamku kepada-Nya. Dan aku tetap tidak akan beranjak, dan sepanjang masa-masa yang akan lewat berikutnya, aku masih akan memandang tenunan di dasar jiwaku, "Aku adalah kamu."
Aku akan terbiasa bangun dengan wajah kusut, tapi kau masih juga tersenyum setelah sekian tahun kita bersama-sama mengisut. Rambutmu mulai kelabu, putih beradu hitam di beberapa bilangan. Putihku lebih banyak lagi. Dan kita tak akan repot-repot mencabuti, biar saja gambaran bijaksana itu membayang sedemikian rupa. Mungkin juga kita tidak sebijaksana itu, masih saja sama dengan kita yang berjumpa empat puluh dua tahun yang lalu. KIta tidak menyemir, "Biar dengan sendirinya khamir!" ujarmu seolah mengadon rotimu, Dan aku akan menjawabnya dengan sebuah mantra yang sudah bersama kita hapal, "Mama tidak berubah!" Seolah tadi malam tak terjadi apa-apa.
Mungkin kita memang tahu bahwa pertengkaran itu sebenarnya bukan apa-apa. Selain kita yang mencoba mereka-reka jalinan cerita saja. Agar masa-masa yang sedianya melelahkan dan membosankan ini tak berlalu saja. Baiklah kita akan memulai sebuah perdebatan baru lagi. Aku akan berbicara tentang masalah politik negeri ini, mungkin tentang masalah ekonomi, atau yang lebih pelik, tentang diri dan identitas, atau jangan terlalu berat, kita beradu rumah makan mana yang menyajikan saus paling nikmat. Dan kau akan mengatakan aku selalu mendelik ketika menyusun narasiku, delikan terlebar adalah pada tanggal 9 Mei tahun lalu. Saat itu kau membalas memelotot. Dan aku tidak suka dipelototi oleh perempuan, aku tetap laki-laki terbitan masyarakat tradisi. Aku konvensional, aku lebih suka menggunakan kata itu, karena ada gotong royong di dalamnya, ada rapat yang bersahaja di dalam konvensi. Tapi toh perdebatan baru itu tak juga bertarung lama. Kita akhirnya akan tetap meneguk kopi itu bersama-sama, merasakan pahit dan manis yang menyerbu bersama-sama dalam aroma harum yang mengental.
Ini ritual kita selanjutnya, kau akan memakan ujung roti itu dan mengatakan dengan kalimat yang tak jauh-jauh dari biasanya, "Enak, kamu habiskan!" Entah itu roti, atau sup jagung, kau selalu menawariku setelah kau mencobanya. Kalau enak, kau akan memaksaku menghabiskan. Kalau tidak, aku juga yang akan kau paksa menghabiskan. Tapi mana mungkin aku menolak. Aku selalu tak pintar menjadi duta penolakan, apalagi darimu. Sejak dulu, pertama kali, ketika kau dengan acuh memaksakan sebuah surat menyelusup di balik tas pinggangku. Kau bual-bualkan kata sayang, tapi aku terbual juga. Aku ganti menjemukimu dengan deraian cinta yang tak henti, kau acuh, tapi mabuk juga. Aku pun dengan sukacita menerima kedua buah hati kita. Keduanya perempuan tangguh. Jelas kau mendidik mereka untuk bercangkang dan berkaki delapan, agar mereka tak lari melihat laba-laba. Mereka akan mendekati dan justru mendekap dengan utuh, seolah bagian tubuh mereka sendiri. Orang lain pasti akan memilih membuang mereka yang sudah terjatuh dan dihina-dinakan, tapi kau mengajari mereka mendekap daripada menyekap.
Dulu ketika cinta kita masih biru, semua terbakar dalam panas yang tak terkira. Entah dari gereja atau dari terminal, kau akan mendekapku sesampai rumah. Aku masih merasakan kali-kali bibirmu di bibirku. Lalu kita satu. Setelah tahun-tahun paruhan pertama usia kita, semuanya tak lagi membakar, tapi masih membara. Walaupun kadang tak lagi panas, tapi aku masih merasakan hangatnya. Aku hidup karena baramu. Aku tidak menampik itu. Hari-hari mungkin layu, tapi kau adalah penabur bunga yang mencangkok setiap ruas yang sekarat, kerat-demi kerat, agar kembali tumbuh tunas semangat. Dan aku mulai percaya. Lalu kau menaruh asa. Kau ingat ketika aku di-PHK, dan harus menanggung tumpukan dunia. Kau tidak membiarkanku menjadi Atlas yang menopang semuanya, tapi bungkus-demi bungkus roti yang hangat dan muda itu keluar terus menerus dari ovenmu, menghidupi kita berdua, dan kedua gadis muda kita. Ketika aku mulai jumawa, kau menarikku kembali menyelam ke dasar laut. Mempertemukanku dengan Dewaruci. Lalu semuanya kembali biasa. Entahlah, seharusnya kau bertemu orang yang lebih istimewa, dan memilihnya. Aku jelas tidak rela, tapi kau layak. Tapi sejak surat pertama di tas pinggang itu, kau tidak berubah. "Aku adalah kamu." Aku bahkan tak perlu mengingat kalimat terakhir surat itu, karena aku sudah menenunnya di hatiku. Merajahnya dengan merah, dan mengalir bersama darah ke seluruh pori dan sudut, dari siku hingga siku yang lain.
Aku berdiri di sini. Aku gamang sekarang. Ini bukan pagi yang lain itu, ini adalah pagi ini. Ketika aku menatap mereka menutup wajahmu dengan selembar kain tipis berajut salib. Setelah sepuluh tahun bertarung dengan kanker yang menggerogoti dadamu, kau tidak hanya harus melepas keduanya, tapi segalanya. AKu menangis, demikian juga kedua gadis kita. Tapi kami tak ingin menangis terlalu keras, karena aku tahu kau tidak akan menghendakinya demikian. Aku hanya akan menunduk dan melepaskanmu, tapi bukan kenangan tentang kita. Ketika mereka membawamu pergi dan memikulmu, aku tahu kau sedang tersenyum bersama Bapa, atau Ibu. Sampaikanlah salamku kepada-Nya. Dan aku tetap tidak akan beranjak, dan sepanjang masa-masa yang akan lewat berikutnya, aku masih akan memandang tenunan di dasar jiwaku, "Aku adalah kamu."
No comments:
Post a Comment