Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Doa Hujan

| No comment
Turun turun sintren, sintrene widadari
Nemu kembang yun ayunan, nemu kembang yun ayunan,  kembange putri Mahenra
Lamun dadi temuruna manjing karo sing dadi

Ehm, rasanya judul tulisan ini sudah menjadi semacam premis mau kemana dan untuk apa tulisan ini. 
Tulisan ini berangkat dari seorang teman yang menghubungiku, kebetulan orangtuanya, yang petani, tinggal di jemat yang aku layani. Dia meminta kepadaku untuk mendoakan supaya hujan turun di Tunglur. Aku segera merasa, "Wih keren banget!" Tapi sekaligus bersamaan dengan itu aku juga bertanya bukannya kita percaya saja bahwa Gusti bakal kasih sesuai apa yang kita butuhkan.  Masak Gusti gak ngerti? Nah berangkat dari sana mulailah aku menekuni pertanyaan atas  permintaan itu. 
Tradisi memohon hujan, sebuah tradisi lokal yang terjadi di banyak tempat di Indonesia. Akarnya sangat beragam, tergantung pada di mana tradisi itu muncul dan berkembang. Di Bondowoso ada tradisi Pojhian, seorang pawang akan memimpin mantra dalam bahasa campuran Arab, Madura, dan Jawa, beberapa otang akan mengikuti mantra ini, sedangkan beberapa orang lagi akan menari. Mereka menari dalam suasan trans yang memampukan mereka untuk naik tiang bambu, bahkan dengan kepala di bawah. Di Bondowoso juga terkenal tradisi Ojug, sebuah ritual dengan tarian topeng kuna dan rontek Singo Wulung. Lagi-lagi ada pawang yang bertugas membacakan mantra dan kemudian menyerahkan sesaji ke mata air. Namun puncak tradisi ini adalah pada adu sabet rotan. Para pemainnya adalah laki-laki yang berusia paling kecil 17 tahun. Mereka akan menyabetkan rotan ke tubuh lawannya hanya dengan perlindungan karung. Berbahaya? Sejak ada situasi trans maka tidak pernah ada masalah mengenai rasa sakit. Konon demikian. Ada semacam tradisi yang mirip dengan itu di Bondowoso, Ujungan, bukan adu sabet rotan, tapi tinju tradisional. Di Banyumas ada tradisi Cowongan yang hanya boleh dolakukan perempuan, mereka akan menari diiringi dengan mantra-mantra yang dipujikan untuk memanggil Dewi Sri, Dewi Padi, lambang kesuburan di Jawa. Ada waktunya ketika bidadari akan hadir dan masuk dalam properti tari yang digunakan oleh para penari Cowongan. Tidak ada situasi trans, tetapi suasana magisnya terasa melalui merasuknya sang bidadari ke dalam properti dan mantra-mantra yang dilantunkan. Banyak tradisi bertujuan serupa, misalnya Tiban di Tulungagung, Gedub Ende di Bali, serta beberapa tradisi lain dalam variasi yang bermacam-macam.
Aku pernah tinggal beberapa hari di Slawi untuk sebuah workshop sintren bersama Mas Slamet Gundono. Teks lagu di atas adalah lagu yang dinyanyikan ketika kurungan sintren akan dibuka. Itu lagu dengan nada paling akrab dengan telingaku, ada sebuah lagu lain yang dinyanyikan di awal, Sintren Uren, aku hampir tak ingat kalimat-kalimat dalam lagu itu, tapi mengingta lagu itu seperti membuatku merasakan lagi suasana magis ketika sintren sungguhan dibawakan. 
Mungkin tradisi sintren sudah tidak terlalu dikenal lagi sekarang, yang dikenal adalah turunannya yang dibawakan oleh banyak kelompok dangdut di daerah pesisir Jawa Tengah dan Jawa Barat. Itu pun mungkin tak dikenal lagi di daerah-daerah lain. Seperti halnya cerita-cerrita rakyat yang lain, sejarah sintren rasanya punya banyak sekali varian. Ada yang terasa sangat fantastis, ada yang terasa sangat logis. Namun versi ini yang paling aku sukai:
Adalah pasangan kekasih, Sulasih dan Sulandana. Sulandana adalah seorang Raden, putra dari Ki Baurekso, sedang Sulasih adalah putri dari Kalisalak. Namun Ki Baurekso tidak merestui hubungan ini. Sulandana manjadi sangat marah bercanpur putus asa, akhirnya dia memilih meninggalkan keluarganya, sebuah peristiwa yang menjadi kehilangan besar bagi Ki Baurekso, dan terutama ibunya Dewi Rantamsari. Sulasih memutuskan menjadi penari. Ketika Sulasih menari, ibu Sulandana memasukkan roh bidadari ke tubuhnya sehingga roh Sulasih bisa keluar dari tubuhnya. Bersamaan dengan itu ibunya memanggil Roh Sulandana. Hujan pun turun, sebagai tanda terjadinya pertemuan ini. Ketika bidadari itu pergi meninggalkan tubuh Sulasih, maka Roh Sulasih kembali pada badan wadaknya. Dan kembalilah Sulasih seperti sedia kala.
Kisah sintren ini dipercaya mengiinspirasi munculnya tarian sintren. Namun ini semacam kisah etiologis (bukan etimologis). Sebenarnya kita tidak pernah tahu mana yang lebih dulu muncul. Penari sintren dipilih seorang perempuan yang masih perawan, pada awalnya dia akan berpakaian biasa, kemudian dia dimasukkan ke dalam kurungan ayam, dengan doa dan nyanyian mantra, lembar demi lembar pakaiannya penari dimasukkan ke dalam kurungan itu. Dan setelah beberapa menit, sang penari itu keluar dari kurungan dengan sudah berpakaian penari dan berias. Dia dalam kondisi trans, matanya ditutupi kacamata hitam supaya penonton tidak melihat kondisi trans pada matanya. Hanya tubuhnya yang kemudian menjadi begitu luwes menari. Konon roh sang bidadari sudah merasuki tubuhnya.
Agak lucu juga melihat seorang gadis berpakaian penari Jawa tetapi menggunakan kaca mata hitam. Ketika gadis ini dilempar uang maka dia akan tidak sadarkan diri, karena roh sang bidadari meninggalkan tubuhnya, sang dukun biasa akan memanggil rohnya kembali dan dia akan menari lagi, dilempar lagi dengan uang saweran, kembali lagi tak sadarkan diri, dipanggil lagi, demikian terus menerus diulang-ulang, hingga roh bidadari itu sudah lelah menari, dan roh sang penari dikembalikan lagi ke dalam tubuhnya. Dia dimasukkan kurungan dan ketika kurungan dibuka dia sudah kembali pada wujud awalnya, yang biasa dan tak berias. 
Sintren kemudian dipakai menjadi tarian pemanggil hujan ketika kemarau panjang terjadi, sejak pertemuan Sulandana dan Sulasih terjadi ketika hujan. Beberapa tradisi di atas mungkin sudah sangat jarang dikenal sekarang. Masuknya agama beserta kata "musyrik" dan frase  "jangan ada allah lain padamu" rasanya menggeser ini menjadi sekadar tontonan, bahkan tidak jarang ditolak dalam label haram. Akar sejarahnya tercerabut begitu saja, dan masyarakat semakin kehilangan simbol budaya asalnya. Bersama dengan itu muncul agama dengan warna budaya yang sama sekali berbeda dengan lokalitas Indonesia. Ke-Arab-an dan ke-Eropa-an menjadi identitas baru bangsa Indonesia. Dan doa minta hujan lantas terlantar karena Tuhan sudah tahu dan menyediakan.
Masalah ideologi selalu tidak bisa diletakkan dalam kaca mata benar dan salah. Terlalu rentan jangkauan hitam putih ini untuk mewadahi sesuatu yang kaya dan memiliki terlalu banyak aspek dan variabel. Namun apa lacur, kita, atau setidaknya aku, sudah tinggal dan dididik dalam tradisi belajar yang sangat logis, sistematis, empiris. Tradisi belajar yang mencentang negasi pada sesuatu yang tidak masuk akal dan bernuansa magis. Tentu saja aku tidak menyalahkan apa-apa yang ada dalam agama, karena agama adalah satu-satunya jalan menuju hidup damai sejahtera di sorga baka. Begitu kan?
Demikianlah tradisi meminta hujan kehilangan gigitannya, digantikan oleh kepasrahan pada kehendak yang Maha Kuasa. Namun tambahan rasional dan empiris - anggap saja keduanya sekelompok di sini, yang menulis ini hanya awam dari filsafat serta merta rumit itu - memicu munculnya materialisme yang daripadanya memicu eksploitasi pada alam secara berlebihan. Alhasil keseimbangan yang dijaga lewat tradisi magis haram tidak masuk akal itu bergeser pada keseimbangan yang lain. Namun  lagi-lagi terjadi keluhan atas kondisi demikian sejak hawa sekitar menjadi semakin panas dan musim tak lagi bisa dihitung.
Beberapa mungkin hanya merasakan udara yang bertambah gerah. Namun beberapa yang lain, yang hidup dari musim-musim yang teratur mulai merasakan bahwa keseimbangan baru ini memangkas daya hidup  mereka. Mereka tak mampu membeli AC untuk mendinginkan ruangan, mereka tak mampu menguras air dari sungai bawah tanah, yang konon tak akan habis ini. Mereka yang berpendapat sungai bawah tanah tak mungkin kering hebatnya juga belajar fisika tentang hukum kekekalan energi. Akhirnya dalam pola pikir yang entah sederhana atau terlalu canggih beberapa orang mulai memunculkan hal supranatural dalam dunia dan keseimbangan barunya yang serba natural. Demikianlah mereka menjadi paranormal super eksentrik. Mereka memakai simbol-simbol lokalitas untuk menunjukkan posisi  mereka. Termasuk tidak mandi dan memanjangkan rambut tanpa memikirkan perawatannya. Dan beberapa yang cukup beruntung memiliki hobi baru, tampil di televisi terutama dalam acara infotainment. Yang agak takut kualat dan dirajang massa, atau yang benar-benar alim memilih mengambil rupa sangat agamis tapi dengan misi supernatural yang seragam para eksentrik itu. Menggambar setan, memanggil bagian dunia lain, dan meletakkan Tuhan sebagai barang dagangan. Sedang yang masih takut-takut, masuk-tidak masuk, memilih menonton film horror.  Di dalam film horor mereka tidak perlu khawatir akan keseimbangan baru ini, karena selalu ada jelangkung, kuntilanak, pocong yang siap untuk menjaga keseimbangan dan meninabobokan mereka dari gambaran dunia yang sudah terlalu kejam. 
Bagaimana dengan mereka yang tidak eksentrik? Mereka yang lebih sederhana dan masih berpautan erat dengan musim, ketika mereka sudah kehilangan tradisi sintren, ojug, ujungan, dan sebangsanya? Sintren dan teman-temannya sudah menjadi tontonan dengan dangdut lengkap dengan puler, pupu diler, ini inovasi. Tapi entahlah bagaimana harus menilainya. Wayang pun berhenti ditonton setelah bagian campursari. Mereka yang masih memilih bertahan di duni tanggapan ini memasukkan inovasi tadi dalam bagian pertunjukannya. Ya, mereka butuh hidup. Pekerjaan-pekerjaan lain muncul seiring dinamika anyar dari keseimbangan baru yang bernama industri itu. Semuanya menjadi serba industri. Dan industri menjadi pengukur seberapa orang mampu beradaptasi. Pekerjaan-pekerjaan lain ini berkutat di sekitar industri dan warna sari untuk memenuhi kebutuhan industri ini. Demikianlah, bersamaan dengan munculnya pekerjaan lain, pekerjaan menjadi petani menjadi pilihan yang terlalu sulit untuk dipilih. Ditambah kebijakan jarang sekali memihak kepada mereka. Termasuk juga teman mereka yang menambahkan kata organik di belakang namanya, jarang dari kelompok ini yang mau berbagi resep. Ladang mereka saja tidak luas, mau dibagi-bagi. Akhirnya generasi ini menjadi generasi miskin petani, ini generasi SPG dan SPB.
Maka bagaimanakah mereka yang tidak punya pilihan lain selain bertani? Mereka merindukan hujan. Dan kali ini mereka sudah kehabisan cara kecuali berdoa. Maka muncullah doa minta hujan, permohonan yang sederhana dan tampaknya terlalu sepele. Benar aku sudah hampir sampai pada akhir tulisan ini. Untukku Tuhan itu adil, dan keadilan Tuhan akan menyeimbangkan cerita mereka. Bukankah Tuhan selalu menjadi penyeimbang maha kuasa, Dia menciptakan sorga supaya orang yang tidak pernah bahagia karena terinjak-injak dan tewas demi orang lain akhirnya bahagia juga. Tenang bapak ibu tani, Anda semua akan masuk sorga,
Aku akan berdoa  minta hujan, bukan karena itu fenomenal dan keren, namun karena para petani ini sudah tak punya cara lain, sejak cara lain sudah menjadi haram. Aku memang suka membesar-besarkan masalah, aku terima saja ini sebagai takdir, hahahaha! Ya malam ini rasanya aku menjadi sangat romantis dengan para petani ini. Namun untuk sekarang, rasanya aku akan mendengarkan Kua Etnika menyanyikan lagu Turun Sintren dengan Tri Utami yang jingkrak-jingkrak dalam kacamata hitam, yah setidaknya bernostalgia dengan kenangan lama. 
Tags :

No comments:

Post a Comment