Gerimis. Gerimis adalah perjumpaan. Seperti pantai, ketika asin bertemu tawar, air dan tanah, panas dengan dingin, kecepatan menjumpai keteduhan. Ada yang mengiris manis dalam gerimis, ada sakit yang tertahan, ketika rintiknya enggan memelas untuk deru yang deras, pun enggan melepas yang terik demi sebuah guyuran lekas. Seperti sepenggal mata air yang tercekat di sudut mata yang merona merah, namun tetap engan untuk mengalirkan sungai beningnya. Gerimis adalah kita, mungkin, ketika sabda bertemu biru.
Namaku Biru. Lagu menderu-deru yang dinyanyikan Elvis dalam balutan soulnya, “I'll have a blue Christmas without you. I'll be so blue just thinking about you. Decorations of red on a green Christmas tree, won't be the same dear, if you're not here with me!” Paskah sebentar lagi, tapi aku masih biru dengan Natalku. Paskah terlalu bersemangat, dan aku tak pernah suka itu. Paskah serupa musim semi yang menerbitkan bunga-bunga dandelion dan menerbangkannya ke tepi Sungai Sein. Mungkin karena aku orang Jawa, dan aku berlatih dengan serius menjadi orang Jawa. Menjerat hasrat dengan kekang dan kuk yang menekan.
Aku pernah bertemu dengannya, sabda yang menyegarkan natalku, melelehkan kristal bening salju yang mengeras dalam malam-malam Desember yang pekat. Sabda itu seperti api yang mengobarkan semangat anak-anak kecil untuk berlarian mengejar layangan yang putus dalam sebuah sambitan. Menyangsang sungsang di sebuah pohon juwet, pohon kuburan. Dan aku menjelma Merah sekujur tubuhku, terutama di pipiku. Dia memanggilku “Hai, Merah!” dan aku senang dengan itu. Dia hangat, Yesus lahir dalam sebuah kandang yang hangat juga, bukan? Dan sabda itu bagaikan seorang juru selamat, membawaku dalam mimpi yang melesat dan melaknat.
Dan tak sedemikian lama. Matahari tak akan bertengger terus di puncak kepala. Tidak perlu malam, cukup sore yang keemasan, dan matahari itu tak lagi di sana. Sabda itu menginjakkan kakinya terakhir di dadaku, dan tapaknya terlalu dalam untuk kisah-kisah lain yang belum juga selesai. Aku terluka dan tapak itu yang paling lekas membiru. Aku sempat mengubah namaku menjadi Mara, yang berarti Hitam. Dan aku mengejarnya seperti kesetanan.
Dan aku berhenti. Bukan karena aku tak mampu mengejarnya. Salah! Tapi karena memutuskan berhenti dan tak lagi akan mengejarnya. Kau mungkin akan berpikir aku rapuh, mungkin benar begitu. Tapi bukan kawan, aku adalah Biru, dan mengejarnya menjadikanku Hitam, atau Merah. Dan aku tahu itu bukan aku, aku ingin pulang kembali ke dalam dekapan gerimis yang hampir terbit dari sudut mataku. Itu saja.
Ketika itu, tiga buah matahari kecil menyembul dari sesela gelap di ujung jalan. Matahari yang tersenyum. Dan aku tahu bahwa Tuhan selalu punya cara untuk menemaniku, bahkan ketika tidak memberikan yang aku mau. Dan aku akan dengan senang menyenandungkan lagu itu, “And when those blue snowflakes start falling, that's when those blue memories start calling. You'll be doin' all right, with your Christmas of white, but I'll have a blue, blue blue blue Christmas.” Namaku Biru, dan aku cukup menjadi Biru. Dan jangan salah, Biru adalah salah satu warna dasar dunia. Tanpa Biru kau hanya akan melihat hitam dan putih saja.
No comments:
Post a Comment