Kita adalah kaldera, roboh dan memuing. Demikian pada suatu masa di masa lalu kau menyebutkan deretan kata yang sama sekali tak kumengerti itu. Kau adalah kamus yang menyekap sekian banyak orang terpana seraya berdecak. Kau menyimpan jutaan kata yang tak mampu dimengerti orang. Terlebih ketika kau hendak tertidur, ketika pipimu lembab oleh minyak. Dan bibirmu merah menyerupa sel-sel muda.
Aku sempat berpikir seperti yang lain, bahwa kau tak terjamah. Kau terlalu tinggi, terlalu indah, terlalu memabukkan. Orang akan sedemikian lupa kepada dirinya, mereka mengejarmu dalam diam. Karena tak ada yang akan berani terang-terangan mengungkap. Dan kau menangis malam itu.
Bukankah saat itu bulan sedang menggantung sebagian wajahnya saja. Kau tak tersenyum, sama sekali. Wajahmu pucat dan membiru. Demikianlah rekuk-rekuk sepanjang pelipismu membenam di dadaku. Kau tak kuasa menahan sakit tatkala bercerita tentang orang tuamu yang memilih berpisahan. Tentu kau sudah mengetahui rencana itu sejak lama. Tapi kau, sama seperti yang lain, tak menduga saja bahwa mereka akan sedemikian berani.
Ayahmu bersekutu dengan malam. Ayahmu akan bertahan hingga fajar menyerbu sepanjang tengkuknya. Lalu ketika semua menjadi jelas, ayahmu akan memilih pergi. Dia adalah misteri. Dan dia tak hendak dijamah oleh apa pun. Bahkan malam yang sedemikian lekat dengannya pun tak berani tegas kepadanya. Malam hanya mampu meraba. Karena ayahmu tak pernah sepenuhnya kelam. Dia tidak juga terang, kau pernah bercerita demikian kepadaku, bukan? Kau bahkan tak mengenalnya.
Ibumu kayu sintulang. Yang dirambah sedemikian banyak orang. Tersembunyi di tengah hutan hujan. Tapi tak pernah mampu mengendapkan kuasa dalam dirinya. Dia penyihir putih yang tak akan membunuh manusia, bahkan ketika mereka memilih membakarnya. Manusia-manusia itu adalah deru-deru ombak yang berlaluan menerjangnya. Dia tidak gentar, namun juga tidak menolak. Konon pada seratusan tahun yang lalu, gedung-gedung dibangun. Ibumu berpikir itu jalan bertemu ayahmu, sampai mereka kacau balau oleh bahasa yang mericuh.
Segara. Tawang. Bayu. Wana. Marta. Rantau. Mereka menyebut namamu dalam sekali tarikan napas. Tangisanmu di pelukanku masih begitu dalam. Seperti tak hendak dibungkam. "Nanti ketika reja-rejaning jaman, kita akan bersama, bukan?" Aku tertegun. Aku menatapmu, kau melihatku. Kita bersemuka. Semua bahasamu luluh, demikian juga perasaanku. "Ah andai saja aku tahu cara melindungimu!" Aku ingin semuanya menjadi baik. Dan semua tulah ini berakhir. Tapi aku sadar bahwa aku selalu pemimpi. Dan kerap diterjang sendiri. "Aku ingin membawamu pergi, mengangkatmu dari semua nista ini!" Ucapku persis di telingamu yang membiru.
Dan saat itulah dalam sepoi basah yang menerjang mukaku, kau berbisik, "Tidak perlu!"
No comments:
Post a Comment