Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Burnsvigia

| No comment
Terlalu banyak yang menanti waktu dalam kelelahan. Namun tidak semua, ada yang setia. 

Panas setahun penuh. Sekalipun sesekali gerimis menitik, namun halau panas terbukti lebih perkasa. Dataran Karoo yang berbatu-batu dan kering itu menyimpan yang terindah di dalam bumi. Afrika memang selalu punya gayanya sendiri. Biji-biji tua itu menanti dalam tidur dorman mereka yang lelap, sampai hujan-hujan di ujung musim kering itu menyentuh dan mencukupkan daya mereka untuk menggeliat dan melipat selimut bungkus bijinya. Menggelitik mereka untuk bangun dan terjaga.

Maka puluhan hingga ratusan helai hijau tebal, berair, dan berlapis lilin itu pun menyembulkan wajahnya, seraya mengucap selamat tinggal pada denting air terakhir yang menguapkan dirinya pada terik sang mentari tua. Mereka tertawa, sambil menyimpan kejutan yang istimewa untuk para serangga. Serangga mulai gelisah, tidak sabarkan diri. Waktu lagi-lagi seperti berjalan begitu lama bagi para serangga, menanti yang sudah di depan mata namun tak bersegera jelas lebih menyiksa daripada menanti yang tak tampak ada. Tapi helai-helai hijau itu mengajar sabar, dalam hening menangkupkan kelopak tangannya hingga saat yang tepat.

Ketika saat yang tepat itu akhirnya tiba, serempak dalam sebuah gerombolan raksasa, di tanah lapang itu, mereka melambai bersama-sama. Kelopak hijau itu membuka tangkupnya. Mahkota-mahkota bunga merah muda, beberapa tampak lebih pucat dari yang lain, bernyanyi kepada kering. Menceritakan kisah cinta mereka dengan tetes hujan terakhir. Panas kering tak selamanya gagah perkasa, ini saatnya mereka yang bersahaja merdeka. Dataran yang coklat tanah itu seperti diserbu cinta. Merah muda menumpah ruah disiramkan dari angkasa. Penantian panjang itu terbayar sudah. Dari sebatang getas yang menyimpan kenangan mereka bersama hujan terakhir, lahirlah puluhan bunga. Bertiara selayak lili muda.

Pesan mereka tak mengandung kekecewaan apa pun, bahkan kepada terik. Tidak ada nostalgia yang muram, yang ada gempita ria. Tidak tampak amarah mereka kepada sang mentari tua, karena mereka tahu bahwa sang mentari tua itu pun sejatinya begitu lega melihat mereka lahir sempurna. Dalam usianya yang sudah berabad-abad lamanya, sang mentari tua itu menyimpan sendiri rahasianya, rahasia kala. Dan usianya adalah jaminan kebijaksanaanya. Mentari tua itu pun meniupkan anginnya, merah muda itu pun bergoyang, begitu riang gembira.

Ternyata, tak hanya mereka yang bersukacita, para serangga tak mau ketinggalan serunya. Ribuan serangga yang telah mau bersabar itu akan menari-nari dalam kelepak sayapnya ke kanan dan kiri, berjingkat ke sana dan sini. Semua bahagia. Semuanya serba memesona, memukau mata, hati, dan jiwa. Inilah sorga, tak tergambar oleh apa pun. Hanya Bulan Maret yang diam-diam tersenyum sambil menyematkan dansa dataran bunga itu sebagai mujizat dari deret tanggalnya. Burnsvigia, keajaiban Maret di tanah Afrika.


Aku yakin mentari pun sebenarnya masih haus melihat tarian Burnsvigia, tapi dia yang bijaksana tahu bahwa yang terbaik tak boleh dipapar terlalu lama. Atau hilang harganya, hilang mujizatnya. Setelah beberapa hari Burnsvigia mekar, kali ini sang mentari tua harus berhati tegar. Disiramnya mahkota-mahkota merah muda itu dengan teriknya, lebih dari biasanya. Maka dengan patuh mahkota-mahkota itu melipat dirinya dalam layu. Tanah kembali coklat, sunyi tapi tidak pilu. Tonggak batang berair itu mengering perlahan, waktu demi waktu.

Tapi jangan salah. Kisah sang Burnsvigia tidak berhenti di situ. Di dalam tangkupan layu mahkotanya, dia justru sedang menenun buah dari sukacitanya: biji-biji hijau yang siap ditebar sekali lagi ke tanah. Inilah saatnya sang mentari tua menjelaskan rahasianya: dia tidak memusnahkan, dia justru menjangkarkan. Ketika batang kering itu pupus, kumpulan kelopak bunga yang awalnya merah muda dan sekarang sudah putih mengering itu melepaskan dirinya dari pelukan bumi. Sang mentari tua kembali meniupkan anginnya. Bagaikan bola-bola puluhan kepala bunga itu bergeliding ke mana-mana. Bersama dengan itu, diam-diam mereka menjatuhkan satu demi satu bijinya. Biji-biji itu pun mengering bersama terik. Dan ketika waktu kembali menenun dirinya, biji-biji itu akan tenggelam kembali ke dasar bumi, beberapa tumbuh menjadi batang hijau sejenak, beberapa langsung memilih pulas di dalam bumi. Musim gugur tiba, mereka sepenuhnya berpasrah, melipat dirinya dalam selimut tanah. Menutup matanya, menua, menunggu hujan terahir tahun berikutnya.
Tags :

No comments:

Post a Comment