"Lezat!"
Kepala perempuan itu tandas digeragotinya. Ada kenyamanan yang aneh di pelupuk matanya. Mengerjap-ngerjap teratur setiap seperempat tarikan napasnya. Ada sejenak rasa segar ketika darah itu mengaliri dagunya, menetes hingga jatuh ke tetekian yang menjalar seperti sesulur semangka di bawah kakinya, tapi sesulur itu kaku dan kosong seperti tengkorak yang dibiarkannya melongokkan hampa dari kedua ceruk yang sebelumnya berisi dua bola mata itu. Biasanya dia akan meringis ngeri melihat cekungan itu. Tapi gigir giginya yang bertabrakan dalam gemeletuk menyirnakan rasa ngeri. Bibirnya malah tertawa tanpa suara di tengah gigilnya.
Bau anyir serupa campuran ingus menahun dan ikan busuk bertebaran dari mulutnya. Dia menyesap darah yang hampir menetes dari bibir bawahnya. Suara serupa sedotan minuman yang hampir tandas dari lidahnya bertabrakan dengan dengusnya. Telinganya menjadi lebih awas, dia bahkan bisa menangkap bunyi angin yang mendorong arakan awan meninggalkan bulan yang kesepian. Cahaya bulan itu menjadi begitu kuning dan terlalu terang. Pada malam yang lain dia akan meletakkan kepalanya di pangkuan ibunya yang menyanyikan nina bobo. Tapi nyanyian malam itu tak akan lagi didengarkannya. Dan seketika itu juga sergapan takut melilit-lilit sepanjang perutnya. Dia menarik-narik kulit perutnya beberapa saat. Dan berikutnya dia jatuh dalam tangis. Dia akan merindukan suara ibunya yang berat. Tidak akan ada lagi nina bobo.
Tubuh itu terbujur lemas. Beberapa saat lagi semua akan menjadi kaku dan mengering, darah akan berhenti mengalir dari leher putih itu. Demikianlah selalu. Toh merah segar sudah berhenti mengucur, sekarang semuanya menetes saja, tapi tak berhenti-berhenti selaik kran yang enggan dimatikan. Dia masih mengenali tanda lahir serupa pulau coklat kecil di atas puting itu sejak dia menyusu pada puting itu bahkan sampai usianya empat setengah tahun. Dia nyaman menyusu, dan ibunya yang kini menjadi seperti onggokan daging yang siap disisat itu tidak berhenti menyusuinya. Mereka saling mencintai sejak dari semula, sejak ayah tak pernah ada. Ayah hanyalah nama. Ayah hanyalah rasa sakit yang tak kentara tapi membekaskan nyeri yang melukai ulu hati.
Mengingat lagi rasa rindu yang akan dirasakannya, dia menangis tak karuan sekarang. Ingin rasanya diterkamnya seluruh sisa tubuh itu. Tapi dia tidak mampu. Ada yang menyedot kekuatannya. Ada hutan rimba yang terlalu luas di hatinya sejam yang lalu, dan sekarang semua kering seperti ketika kemarau bertarung terlalu giat dengan denting hujan. Raungannya membelah gelap malam, menjadikan gelap semakin pekat.
"Aku mencintaimu, Bu! Mengapa begitu sulit mencintaimu?"
Ketika sejam yang lalu kapak itu mengayun ke leher jenjang itu semua pelosok dirinya hanya kemarahan. Seluruh sudut tubuhnya berpesta pora tatkala darah segar tercurah. Ada pesta pora dalam pikirannya, liar kuda lari dilepas dari pasungan. Tapi sekarang ketika sudah tuntas dan seharusnya ada puas, ternyata dia justru melompong, jantungnya berdekit-cekit.
Rasa cinta itu terlalu dalam. Tapi itu pun salah sama sekali. Dia berpikir kematian adalah jawaban benar dari segala pilihan jawaban yang mungkin dipilih. Ini bukan pilihan ganda, pertanyaannya sendiri sudah terlalu rumit, tidak mungkin lagi memberikan kerumitan lain pada jawabannya. Tapi sekarang ruhnya melayang lenyap dari dirinya bersama dengan tetesan darah yang meresapi tanah hutan pinus itu. Ibu yang dicintainya terlalu dalam itu, "Mengapa ada cinta yang keliru, Bu?"
Dia merenggut kapak itu dari tanah. Dipegangnya ujung kapak itu kuat-kuat dengan kedua tangannya. Tangan itu mencengkeram tak hendak melepaskan genggamannya. Mata kapak itu berkilauan dalam terang bulan, bertatapan dengan matanya. Mata bertemu mata, tajam bertemu tajam. Dengan sisa ketakutan dan rasa darah di lidahnya, diayunkannya kapak itu ke atas, dan ketika bilah dingin itu hampir menyentuh tengkoraknya, ada rasa takut yang menyergap tiba-tiba. Dia ingin menghentikan laju ayunan itu. Tapi terlambat.
Hutan pinus itu berubah menjadi sebuah halaman belakang yang harum. Ibunya sedang memasak kue malfinas bersama kekasihnya. Rambut kekasihnya yang wangi jeruk basah seperti habis kerasamas. Tapi itu bukan keramas, hanya vitamin baru untuk rambutnya. Aroma gula jawa menyergap hidungnya. Lembut yang saling bersapaan, tatapan matanya berpapasan dengan kerling kekasihnya. Mereka saling tersenyum, dan mereka akan menikmati malfinas itu bersama teh jahe. Tidak akan terlalu manis. Hati mereka gembira ria.
"Dia pacarmu, ya?" Sang ibu bertanya.
"Bukan! Hanya teman!"
Kekasihnya yang begitu memesona, seperti embun bening sapuan fajar. Bunga-bunga kuning, ungu, merah muda dan merah, ada juga yang putih dan lembayung. Mawar, bougenvil, lili, dan dafodil. Lagi aroma gula jawa dalam adonan yang hangat. Daun-daun hijau dan kuning, beberapa coklat. Lalu hitam.
Hitam pekat sepanjang matanya melihat. Sempat merah tua sejenak. Sebelum napasnya tersengal dan kapak itu membelah tengkoraknya persis menjadi dua. Abu-abu bercipratan ke mana-mana seperti pengecat amatir. Dan hangat air matanya bercampur dengan darahnya. Ternyata darah itu tak dingin segar, namun begitu hangat.
Ibunya menggedor pintu kamarnya beberapa kali sebelum terpaksa membuka paksa. Gagang pintu itu agak berat, dia tak pernah mengunci kamarnya. Namun pintu itu sudah agak geser turun karena digantungi terlalu banyak pakaian di baliknya. Sebuah jaket kulit hitam, jas, beberapa celana jeans, sisanya kaus, kaus dalam, dan celana dalam. Agak berat, tapi berhasil juga didorong.
Sebuah kursi terjengkang jatuh, mengganjal pintu itu dari dalam. Aroma Baygon menyerbu seperti ditumpahkan. Dan sedetik kemudian teriakan ibunya membubung sepanjang kompleks perumahan itu. Tetangganya pasti mendengar, bahkan rumah yang di ujung. Mulut anak itu berbusa, sebagian lain kering. Kaku seperti batang kayu.
Dia terjaga dari tidurnya. Keringatnya membajiri kaus dan kasurnya, bengawan. Mimpi buruknya masih mencengkeramnya. Ruwatan murwakala. Durga menggelinjang kesakitan, tapi Sadewa tak memperhatikannya. Dia terus menerus memukulkan tangkai padi yang berbulir-bulir itu ke tubuh hitam itu. Momok-momok segera terbit dan mengelilingi tarian Sadewa. Momok-momok yang melolong, sebagian seperti nyanyian sintren, jaranan, sebagian lagi terdengar seperti kentut yang busuk. Asap itu membubung tinggi. Dan iblis-iblis melesat dari tubuh hitam itu, suaranya seperti guntur. Dan lalat-lalat mengerubunginya.
"Enyah-enyah engkau pagebuk dari tubuh pertiwi"
Bibir sang ksatria berkomat-kamit, membubungkan asap yang semakin pekat dari ubun-ubung sang raseksi. Puncaknya adalah ketika anaknya, Kala, keluar dari mulut sang ibu. Mulut itu menganga seperti gua garba. Seperti liang anus yang mekar lebar. Lidah raseksi itu tertarik begitu panjang. Dan seketika itu perutnya yang membuncit beranjak kempes perlahan-lahan. Kala berteriak-teriak "Aku adalah waktu, dan aku akan hidup sepanjang kesempatan." Sang ksatria hanya mengangguk perlahan. Dan perempuan di depannya berubah cantik seperti kembang bunglur di bulan sebelas.
Pintunya digedor dengan keras, lidahnya masih kaku oleh mimpi itu. Ibunya muncul dari balik pintu. Sudah siap berangkat bekerja.
"Nanti pacarmu datang sorean katanya."
"Dia bukan pacarku, hanya teman!"
Ibunya membuka jendela kamarnya. Udara pagi itu masih dingin. Dia meraba ubun-ubunnya, seperti ada sebuah garis jahitan yang kenyal. Ibunya memakai syal merahnya, dia tak bisa melihat apa-apa di balik leher itu. Tapi bukankah ibunya terlalu cantik pagi itu.
Tulang-tulangnya mengejang sesaat, ada kram di belakang tempurung lututnya. Selalu begitu setiap pagi, apalagi ketika dingin menyerbu. Seharusnya udara mulai hangat, ini Mei. "Ayo siap-siap, gak usah sarapan, sudah kukotakkan." Ibunya menarik selimut hijau naga, mata itu mengerling. Perempuan itu tersenyum, "Kami nanti mau membuat brownies."
***
"Anyway the wind blows doesn't really matter to me, to me ..."
No comments:
Post a Comment