Kakiku cedera, setidaknya dengan cukup bermartabat, futsal. Pagi hari ini aku mengulang sebuah ritual yang itu-itu juga, bangun tidur dan meraba nyeri. Masih seperti kemarin, hangat dan berdenyutan, menggembung seperti telih ayam petelur. Aku mencoba bangun, ah, cedera ini membuat kasurku menjelma bukit batu yang menjulang. Aku mencoba menuruni tebing hanya dengan sebuah sling, dan tahu tali itu sudah tua bisa putus kapan saja. Dan sesegera mungkin aku menjejalkan kesal. Warna cedera yang biru membuatku cukup beralasan untuk hanya tidur melulu sepanjang hari. Tapi demi sebuah note yang kutempel di LCD monitorku, aku punya lebih dari seratus alasan untuk bangun dan segera mandi.
Ini Sabtu, hari libur untuk umat manusia, kecuali para pendeta dan para kuli bangunan yang mengecor lantai dua bakal rumah tetangga, dua rumah di sebelah kiriku. Bakal rumah megah yang menjadikan kawasan ini tampak bagaikan para groupies yang mengelilingi seorang bintang film Korea. Aku selalu merasa asing dengan sesuatu yang wah, seperti menemukan diriku sedang berada di sebuah rapat para botanis yang mengusung bahasa-bahasa latin dan aku hanya bisa mengangguk-angguk seperti kacung duduk di atas keset. Karena ini Sabtu, maka note itu menjadi nazar yang akan tergenapi. Sebuah pertemuan dan sebuah saputangan.
Wajahnya manis, tidak cantik. Kulitnya lebih gelap dari gadis-gadis yang pernah kupacari sebelumnya. Dia masih memanggilku kakak, cukup mengganggu sebenarnya. Tapi aku tahu itu caranya menghormatiku. Inge, kekasihku sebelumnya akan mengejekku bersama Natalia sahabatnya (mengapa orangtua senang memberikan nama anaknya sesuai bulan kelahirannya?), "Kamu bilang kamu menderita, apanya? Kamu bahkan sudah secepat itu membangun rumah baru!" Tapi dia akan mengedipkan matanya kepada Natalia dan mereka berdua lantas tertawa. Aku tidak pernah cukup mengerti perempuan. Aku ingat percintaanku dengan Inge tak pernah mudah, dia selalu liar, seperti kuda yang selalu melompat-lompat, tapi ada kalanya dia begitu pasrah dan ranjang hanya penuh dengan keringatku, dia menjelma batu.
Tapi mari menutup cerita masa lalu, aku akan bertemu dengan dia yang selalu kurindukan itu. Toh Inge juga mengatakan kepadaku pada waktu itu, "Aku sayang kamu, dan kamu tahu artinya sayang? Sayang itu dengan bahagia melepaskan yang disayangi untuk menemukan tempat tinggalnya!" Dan Lagi-lagi dia tertawa, dan Natalia akan ikut tertawa. Itu membuatku cukup merasa longgar, lega, tidak lagi bersalah untuk gagalnya hubungan kami. Dan ini Sabtu, inilah harinya bertemu dengan gadis manis dan cerdas itu. Aku memaksa kakiku yang cedera ikut bangun, aku melepaskan rekatan note itu dari monitor dan mencari handphoneku.
Kusentuh layarnya, ada sebuah sms dari Sanja, temanku. Nanti saja, Sanja akan mengerti. Dan aku membuka sebuah pesan baru. Kuketikkan di sana, "I miss u! Kuharap kita bisa bertemu di hari libur ini. Arti kita!" Udara masih menguarkan aroma dingin dan embun ketika aku membuka jendela. Angin menyerbu masuk, sebentar lagi pasti musim kemarau. Anginnya menggila. Tapi ada yang hangat di dadaku, hangat yang tak hilang-hilang, apalagi ketika sms itu berbalas, "I miss u too! Aku rasa lebih baik kita bertemu. Aku berhutang saputangan kepadamu. Arti kita!"
No comments:
Post a Comment