Whatever you want...

Thursday, October 23, 2014

Ikan Pedas Nenek

| No comment
Aku diajak menemani nenek ke Surabaya. Paman mau menempati rumah barunya. Kami akan berangkat besok Sabtu, tapi sejak Hari Rabu nenek sudah sangat ribut. Nenek sibuk menyiapkan bawaan untuk anak-anak paman, Rio dan Rita. Nenek ingat pada waktu mereka dulu main di sini, mereka sangat suka dengan ikan pedas buatan nenek. Maka kali ini nenek ingin membuatkan mereka ikan pedas seperti dulu. 

Di desa kami, Jajag, ikan laut hanya datang musiman. Dan tahun ini ombak di pesisir pantai tidak bagus, banyak nelayan yang tidak berangkat ke laut. Tapi demi ikan pedas itu, nenek menyuruh Mas Aris pergi ke Muncar tiga jam perjalanan dari desa kami. "Pokoknya cari yang paling bagus dan besar-besar, ya, Ris!" kata nenek sambil memberikan uang dua ratus ribu kepada Mas Aris. Mas Aris mengatakan bahwa bisa jadi harga ikannya mahal karena ini bukan musimnya. Nenek tetap memaksa dan Mas Aris menurut kepada nenek. Jam sembilan pagi ditinggalkannya pekerjaannya di sawah demi membelikan ikan untuk nenek. Mas Aris bukan orang yang pintar, dia tidak lulus SMP, tapi dia rajin bekerja. Usianya hampir sama dengan ibu, tapi aku memanggilnya Mas, karena dia anaknya Bu Dhe Sri. Aku lebih pintar menghitung perkalian daripada Mas Aris. Tapi giliran menghitung uang, Mas Aris selalu menang. 

Nenek juga sudah membeli bahan-bahan untuk membuat kue. Nenek ahlinya membuat kue, kue buatan nenek adalah yang kue yang paling enak. Nenek bisa membuat kue tok, risoles, lemper, dadar gulung, sampai kue-kue kering yang macam-macam. Nenek juaranya. Nenek mengajak ibuku dan Bu Dhe Sri untuk membantunya membuat kue. Aku disuruh membantu melipat kotak-kotak kue. Warnanya merah, biru, kuning. Aku juga diminta memotongi kertas minyak. Aku senang sekali, rasanya seperti mengerjakan pelajaran keterampilan. 

Siang itu Mas Aris menelpon nenek dan mengatakan bahwa tidak ada ikan yang bagus di Muncar. Nenek terpaksa menyuruhnya menginap di Muncar siapa tahu besoknya bisa dapat ikan bagus. Mas Aris menurut saja. Sedangkan kami yang di rumah hari ini membuat bolu kukus besar-besar. Melihatnya saja aku sudah langsung tergoda. Nenek memperbolehkanku mencicipi beberapa, rasanya lezat sekali. Kami juga membuat donat-donat, adonan roti itu dibiarkan semalam biar mengembang. Wah aku tidak menyangka dari segelintir adonan bisa membesar sampai beberapa kalinya. Seperti sulap. Empuk lagi. Masih mentah saja wanginya luar biasa, apalagi kalau nanti sudah matang, wah aku tidak bisa membayangkan. 

Hari Kamis adalah harinya kebaktian keluarga. Nenek membawa sebagian roti untuk Mak Siti. Kebetulan Mak Siti yang ketempatan kebaktian bukan orang yang mampu. Mak Siti senang sekali ketika menerima tiga kardus besar berisi roti kukus dan donat itu. Nenek juga membawakannya teh dan gula untuk membuat wedang. Mak Siti berseri-seri seperti habis menang togel empat angka. 

Mas Aris sore itu juga pulang, tapi ternyata tidak membawa ikan. Dia mengatakan bahwa ikannya tidak ada yang bagus, yang ada hanya yang kecil-kecil. Dia besok akan berangkat lagi ke Muncar. "Sawahmu gimana?" Tanya Pak Lik Tono. "Sampeyan selesaikan, ya Lik. Nanti kalau sudah dapat ikannya tak bantu. Besok biar dikirim ibunya anak-anak." Kata Mas Aris. Pak Lik Tono menjawabnya, "Iya, besok gak usah dikirim, aku membawa bekal sendiri saja." Aku paling senang kalau disuruh mengantarkan kiriman makanan ke sawah. Biasanya aku bisa dapat sisa makanannya, tapi lebih enak membantu nenek, karena aku bisa makan roti-roti paling enak sedunia. Rasanya aku anak yang paling bahagia. 

Besoknya kami melanjutkan membuat kue. Kali ini nenek membuat kue coklat dan sarang semut. Manisnya bukan kepalang. Aku baru membantu setelah pulang sekolah. Ibu sudah membantu dari pagi. Tugasnya adalah merajang bawang merah, putih, dan cabe merah untuk bumbu untuk ikannya. Kami semua berdoa supaya Mas Aris bisa dapat ikan segar. Hari itu, Yu Likah, Mbak Denok, dan Mbak Sari juga datang membantu. Dapur rasanya ramai seperti orang punya hajatan. Apalagi Mbak Denok memutar dangdut dari handphonenya, bokongnya ikut digoyang-goyang waktu mencamput terigu dengan bubuk coklat. 

Tapi sampai jam dua sore Mas Aris belum datang juga. Wajah nenek tampak sedih. Dia kelihatan bingung dan khawatir. Jarinya sampai teriris pisau. Untungnya tidak dalam. Kami semua menjadi was-was, bagaimana kalau Mas Aris tidak dapat ikannya. "Kalau Aris pulang tidak membawa ikan, nanti kita belikan ayam dan balungan saja." Kata nenek. Kami tahu nenek kecewa. 

Ternyata keajaiban itu terjadi. Setelah bedug Ashar Mas Aris datang. Dia membawa dua plastik merah besar ikan tongkol dan entah apa lagi. Wajah nenek langsung sumringah seperti waktu sunatannya Wigan. Semua jadi ikut bersemangat. Nenek langsung memerintahkan kami anak buahnya membersihkan ikan-ikan itu. Akhirnya semalam-malaman kami tidak istirahat, karena nenek ingin semuanya dimasak sempurna. Besok kereta kami berangkat jam sepuluh. Jadi malam ini harus selesai. Aku membantu Mbak Sari dan Mbak Denok membungkusi kue dan memasukkan ke kotaknya. Ibu, Bu Dhe Sri, dan Yu Likah membantu nenek. Jam sembilan malam semua pulang. Tapi ikannya belum matang benar. Akhirnya ketika yang lain ijin pulang, aku dan ibu tetap bertahan untuk membantu nenek menyelesaikan masakannya. Kami baru selesai memasak persis jam dua pagi. Aku sudah mengantuk sekali. "Nek, aku boleh mencobanya?" Nenek tersenyum manis memersilakan. "Hmmm, rasanya mak jleb!" kataku. "Kok Mak Jleb?" tanya ibu, aku lihat nenek tertawa-tawa kecil. Wajahnya kelihatan sangat puas. "Iya pedasnya menusuk sampai pori-pori." "Kamu ini ngomong apa!" Kata ibu sambil tertawa, kami lalu pamit pulang. 

Aku sudah berdandan cantik. Memakai baju yang dibelikan bapak. Bapak dan Ibu mengantarkan nenek dan aku ke stasiun. Kami meminjam mobilnya Lik Juni. Barang bawaan nenek enam kardus Aqua, kayak orang mengungsi saja. Ditambah lagi dua wadah ikan pedas. Aku tahu nenek masih mengantuk, tapi aku lihat semangatnya mengalahkan kantuk dan lelahnya. Nenek memang juara. 

Di Surabaya kami dijemput sopirnya paman. Paman masih sibuk di kantor. Aku dan nenek tersenyu berdua, bersemangat. Kami melewati jalanan Surabaya yang ramai. Rasanya segar karena di dalam mobil paman ada AC-nya. Tapi nenek kelihatan kedinginan. Nenek, nenek diajak naik mobil enak kok malah malah kelihatan menderita. Aku tertawa, dan nenek mencoba untuk tetap tersenyum. Aku tahu apa yang dipikirkannya.

Sampai di rumah paman, kami ketemu bibi. Bibi menyambut nenek dengan ciuman hangat. Bibi sangat cantik, seperti bintang sinetron. Bibi dan pamanlah yang setiap bulan mengirimi nenek uang. Nenek baru akan mengatakan supaya kardus-kardus Aqua itu dibuka, tapi belum selesai bibi sudah meminta nenek istirahat. "Ibu kenapa bawa banyak-banyak seperti itu. Ibu istirahat dulu, pasti capek perjalanan jauh." Aku diminta bibi menemani nenek di kamar belakang. 

Sampai di dalam rumah, aku kaget karena ternyata banyak sekali kue di meja makan. Ada brownies, ada kue warna-warni. Ada lapis yang lapisnya banyak dan tipis-tipis, semua meja di tengah dan di samping jendela penuh dengan kue. "Kami besok mau open house, pulang ibadat minggu semua kami undang ke rumah." Ternyata ketika kami melewati ruang makan, pembantu bibi sedang melipati kardus juga. Isinya ada roti cum cum, roti abon, ada kue kering yang diselimuti dengan coklat putih dan hitam yang melingkar-lingkar, ada juga kue-kue yang bentuknya seperti buah-buahan, imut-imut sekali. "Aku juga bawa kue." Kata nenek. "Ibu kan sudah dibilang gak usah bawa apa-apa. Kok malah repot-repot segala." Nenek diantar bibi ke kamar belakang. Kasurnya besar, ah malam ini aku tidur sama nenek lagi seperti dulu waktu kecil. "Kamu satu kasur sama nenek, gak apa-apa ya." Aku mengangguk. 

Nenek terbangun waktu malam. Paman dan bibi sudah tidur. Aku sudah bangun dari sore, ketemu Rio dan Rita, diajak main game di handphone mereka yang besar-besar. Kata Rio permainan itu adalah permainan paling keren sekarang. Tapi sekarang semua sudah tidur. Nenek melihat kardus dan wadah ikan bawaannya belum dibuka. Nenek mengambil wadah ikannya, dimasukkannya ke panci besar, "Kalau gak dihangatkan nanti bisa basi, diukep terus seharian." Aku membantu nenek. Ah rasanya aku seperti orang penting, seperti pahlawan, beberapa hari ini membantu nenek terus.

Pulang dari gereja besoknya kami sudah menemukan rumah paman ramai dengan orang berseragam merah hitam. Mereka ada di dapur dan ruang makan. Menyiapkan makanan banyak di ruang makan itu. Meja itu ada tiga semuanya penuh makanan. Aromanya luar biasa. Ah aku senang sekali, pasti aku bisa makan banyak. Nenek tampak sibuk melihat berkeliling mencari sesuatu. Aku tahu. Ternyata ikan pedas buatan nenek tidak ikut dihidangkan. Masih di panci besar kemarin malam. Tapi kali ini diletakkan di sebelah kompor. 

Acara itu membuat paman dan bibi seperti raja dan ratu. Rio dan Rita berkumpul bersama teman-temannya. Aku duduk saja menemani nenek yang kelihatan capek. "Ada apa nek?" "Gak apa-apa" jawabnya. Aku membisikinya, "Nenek pasti bangga ya sama paman." Nenek menelan ludahnya, bibirnya tersenyum, "Iya." Tapi aku melihat ada yang aneh. Matanya kelihatan sedih. Paman mengundang nenek ke depan, paman mengatakan, "Perempuan inilah yang mengajarkan saya arti berjuang." Nenek menangis. Aku merasa ada yang aneh dengan menangisnya, rasanya nenek tidak mendengarkan apa pun yang diucapkan oleh paman. 

Setelah semua tamu pulang. Rio dan Rita dibimbing oleh bibi mencium nenek. Nenek tersenyum dan mengelus rambut mereka. "Nek, kok tadi gak makan." Kata Rita. "Aku tadi juga belum makan nek, sibuk main sama teman-teman." Paman mendekati kami, "Ini belum makan semua ya, kita ke Restoran Jepang sebelah Gramedia. Siapa yang mau!" Aku, Rio, dan Rita bersorak. Bibi tersenyum. Paman memanggil pak sopir. Aku rasanya seperti ikut jadi anaknya orang kaya. Tidak apa-apa sesekali. 

Sebelum kami naik ke mobil, nenek minta aku antar ke kamar mandi. Aku menurut. "Besok kita pulang ya." "Loh kok pulang nek." Nenek mengangguk dan tersenyum, "Kalau nenek tidak pulang, siapa besok yang kasih makan anak-anak ayam nenek." Aku bersorak, "Oh iya kan Kamis kemarin sudah menetas semua ya nek telurnya." Aku senang dengan binatang, apalagi kalau yang imut dan kecil-kecil seperti anak ayam. Aku bersemangat. Nenek kelihatan lelah. Nenek memandang ikan pedas buatannya yang masih ada di panci besar sebelah kompor. Kardus-kardus bawaan nenek juga ditumpuk di belakang bersama kardus Aqua yang lain.

Kami berjalan menuju mobil. Rio sudah berteriak, "Ayo nek! Ayo! Nanti nenek cobain ayam teriyaki ya!" "Ah enakan sushi salmon yang pake irisan lemon itu, ya Ma!" Rita membalas minta persetujuan bibi. Nenek berjalan lebih cepat, "Iya, pasti enak-enak!" sambil tersenyum. 
Tags : ,

No comments:

Post a Comment